1.
Berkaitan
dengan definisi budaya menurut beberapa tokoh Antropologi, yaitu :
·
Semua
hasil karya, cipta dan rasa masyarakat (Selo Soemardjan Soelaeman Soemardi)
·
Keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaningrat).
Pola , eksplisit dan implisit, perilaku yang dipelajari dan diwariskan melalui
simbol-simbol yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya
dalam benda-benda budaya.[1]
·
Kebudayaan
adalah untuk menerima, mengevaluasi dan mempercayai perbedaan dengan cara
berfikir. Kebudayaan dimiliki bersama dan secara konstan mengalami perubahan (Golhick
and Chin:1994)
·
(Francis
Morill) kebudayaan merupakan hasil interaksi
sosial.
2.
Perwujudan
dari kebudayaan, yang menyatakan bahwa budaya bersifat konkret. Dimana wujud
dari budaya ini adalah berpola akan tindakan atau pembuatan dan aktivitas
manusia di dalam masyarakat yang dapat diraba, dilihat, diamati, disimpan, atau
difoto. Koentjaraningrat menyebut sifat konkret budaya dengan
sistem sosial dan fisik yang berarti terdiri dari perilaku, bahasa da materi.[2]
3.
Berkaitan
dengan hal-hal aliran kepercayaan atau kebatinan:
·
Rahmat Subagyo
menjelaskan beberapa sifat kebatinan atau olah pikiran dan rasa. Ada beberapa
sifat kebatinan sebagai jiwa manusia, yakni: sifat batin (di dalam diri manusia
sendii), sifat rasa (pengalaman rohani yang bersifat subjektif), sifat asli (reaksi
terhadap keterasingan manusia dari dirinya sendiri), sifat keakraban (hubungan
erat antar anggota), sifat akhlak sosial (gerakan melawan kemerosotan moral) ,
gerakan kebatinan percaya adanya daya-daya gaib yang supranatural[3]
·
Mr. Wongsonegoro,
ketua Kongres kebatinan Indonesia, berpendapat bahwa kebatinan dan ilmu gaib
merupakan dwitunggal dan ada macam magi putih dan magi hitam; ebatinan tidak
mengguakan magi hitam, karena kebatinan bukan klenik[4]
4.
Seorang
ahli hukum Van Ossenbruggen adalah orang yang pertama yang menyinggung
mengenai sistem klasifikasi primitif, atau sistem klasifikasi prelogik, orang
Jawa. Van Ossenbruggen, mendasarkan diri kepada suatu hipotesa yang diajukan
oleh E.Durkheim dan M. Mauss bahwa pikiran prelogik manusia pada awal perkembangan
kebudayaannya membayangkan bagian-bagian dari masyarakatnya sebagai dasar suatu
kerangka berfikir, di dalam mana harus diklasifkasikan semua konsep yang
dikenalnya dan semua gejala yang ada dalam lingkungannya. [5]
[1] Lawrence E.Harriso dan Samuel P.Huntington. Kebangkitan Peran Budaya Bagaimana Membentuk Kemajuan Manusia.
LP3ES Press:Jakarta. 2006. Hal199
[2] Bambang Widhanto dan Iwan Meulia Pirous. Prespektif Budaya. Rajawali Press: Jakarta.2009.hal.225
[3] Kifudyartanto.Psikologi
Kepribadian Timur.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.2003 hal. 53
[4] ibid
[5] Pranata Sosial Jawa, Dr. Purwwadi, Cipta Karya:Yogyaarta 2007. Hal.15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar