Adanya ketakutan menghadapi krisis pernikahan dan berujung
perceraian merupakan hal/kondisi yang membuat wanita bekerja ragu tentang
kesiapan menikah mereka. Ditambah lagi maraknya perceraian yang dipublikasikan
di media massa saat ini sehingga dianggap menjadi menjadi fenomena biasa. Salah
satu penyebab wanita yang bekerja memutuskan untuk menunda pernikahan adalah
keraguan dapat berbagi secara mental dan emosional dengan pasangannya.
Ketidaksiapan menikah yang dimiliki wanita bekerja termanifestasi dengan adanya
ketakutan menghadapi krisis perkawinan serta ragu tentang kemampuan mereka
berbagi secara emosional dengan pasangannya kelak. Selain kesiapan psikis juga
ketidaksiapan fisik. Individu yang merasa memiliki kondisi kesehatan yang tidak
prima (sakit) cenderung ragu melangkah menuju jenjang pernikahan.
Untuk mengetahui apakah seseorang siap menikah atau tidak,
ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan:
·
Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.
·
Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang
banyak.
·
Bersedia dan mampu menjadi pasangan menjadi pasangan dalam
hubungan seksual.
·
Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim.
·
Memiliki kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain.
·
Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.
·
Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran,
perasaan dan harapan.
·
Bersedia berbagi rencana dengan orang lain.
·
Bersedia menerima keterbatasan orang lain.
·
Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi
masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi.
·
Bersedia menjadi suami isteri yang bertanggung jawab.
Individu yang memiliki kematangan emosi akan memiliki
kesiapan menikah yang lebih baik, artinya mereka mampu mengatasi perubahan-perubahan
dan beradaptasi setelah memasuki pernikahan.
Setelah melewati masa
remaja, golongan dewasa muda semakin memiliki kematangan fisiologis (seksual)
sehingga mereka siap melakukan tugas reproduksi, yaitu mampu melakukan hubungan
seksual dengan lawan jenisnya, asalkan memenuhi persyaratan yang sah (perkawinan
resmi).
Membina
Kehidupan Rumah Tangga
Papalia, Olds, dan
Feldman (1998; 2001) menyatakan bahwa golongan dewasa muda berkisar antara
21-40 tahun. Masa ini dianggap sebagai rentang yang cukup panjang, yaitu dua
puluh tahun. Terlepas dari panjang atau pendek rentang waktu tersebut, golongan
dewasa muda yang berusia di atas 25 tahun, umum-nya telah menyelesaikan
pendidikannya minimal setingkat SLTA (SMU-Sekolah Menengah Umum), akademi atau
universitas. Selain itu, sebagian besar dari mereka yang telah menyelesaikan
pendidikan, umumnya telah memasuki dunia pekerjaan guna meraih karier tertinggi.
Dari sini, mereka mempersiapkan dan membukukan diri bahwa mereka sudah mandiri
secara ekonomis, artinya sudah tidak bergantung lagi pada orang tua. Sikap yang
mandiri ini merupakan langkah positif bagi mereka karena sekaligus dijadikan
sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan rumah tangga yang baru. Namun, lebih
dari itu, mereka juga harus dapat membentuk, membina, dan mengembangkan
kehidupan rumah tangga dengan sebaik-baiknya agar dapat mencapai kebahagiaan
hidup. Mereka harus dapat menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan pasangan
hidup masing-masing. Mereka juga harus dapat melahirkan, membesarkan, mendidik,
dan membina anak-anak dalam keluarga. Selain itu, tetap menjalin hubungan baik
dengan kedua orang tua ataupun saudara-saudara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar